Sebuah Apel Untuk Papa | True Story


"Yang, cepat pulang papa pingsan!" kata calon suami , yang sekarang jadi suami saya melalui telephone waktu itu. Saya teringat sekitar 9 tahun lalu, 5 hari menjelang pernikahan saya, papa tiba- tiba pingsan, padahal pagi harinya pas saya pamit berangkat kerja, beliau masih terlihat sehat. Sore itu saya sedang bekerja, karena niatnya saya mengambil cuti 3 hari menjelang pernikahan. Saya bergegas pulang setelah menerima telephone tersebut. Bersyukur kantor hanya berjarak 5 menit dari rumah orangtua.

Saya pulang ke rumah lebih cepat dari saudara yang lain. Jantung berdegup kencang mendapati papa sudah direbahkan di karpet dipangkuan mama yang tak hentinya menangis lihat papa pingsan. Tanpa pikir panjang, saya langsung melakukan CPR dibantu kakak sambil memanggil nama beliau yang tetap tak ada respon walau saya lakukan CPR berulang kali. Kebetulan waktu itu saya salah satu first aider dari kantor dan langsung saya praktekkan. Kemudian calon suami memanggil saya untuk bergantian dengan dokter yang akan memeriksa papa. Ternyata ia memanggil dokter ke klinik untuk dimintai memeriksa keadaan papa.

Saya hanya terdiam saat dokter mengoleskan bola kapas ke mata papa sambil mengatakan "bapak, sudah nda ada mbak, ini saya oles kapas ke mata beliau tidak ada respon". Dan meledaklah tangis mama, kakak dan seluruh orang yang saat itu berkumpul di rumah saya. Saya hanya terdiam lemas sambil mengatakan dalam hati "5 days more pa" sambil melihat nanar papa yang sudah terbujur kaku dihadapan saya. Dan seketika pernikahan saya yang tinggal hitungan hari menjadi terasa hampa.

1 Tahun Menjelang Pernikahan
Sebenarnya saya sangat malas jika diajak dinas trip oleh papa, saya selalu diajak papa dan mama setiap ada dinas keluar kota saat weekend. Padahal saya ingin sekali santai atau istirahat di rumah dengan komik dan saluran kartun jepang tv kabel kesukaan saya. Setelah debat panjang dan dibujuk mama, akhirnya saya ikut dinas keluar kota dengan papa dan mama. Dan bersyukur saat itu mama membujuk saya untuk ikut. Karena dinas keluar kota itu adalah trip terakhir kami bertiga sebelum papa meninggal. Mungkin penyesalan yang tak ada habisnya jika saya tetap bersikeras tidak mau ikut ajakan beliau untuk ikut trip.

10 Bulan Menjelang Pernikahan
 "Ade mau semuanya serba hijau ya pa" pinta saya, saat ditanya apa tema pernikahan nanti. "iya sayang papa setuju kalau andi(nama calon suami) juga setuju"jawab papa. Entah kenapa saya yang menyukai warna biru menjadi penyuka warna hijau, saya ingin undangan pernikahan warna hijau, baju basahan (dodot) yogya warna hijau, dekorasi warna hijau, pokoknya semuanya bernuansa warna hijau. Saya anak terakhir dari 5 bersaudara, dan saya memang amat sangat dekat dengan papa. my little girl panggilan papa untuk saya. Saya ingat betul saat itu saya masih workaholic dan bisa pulang larut karena sibuk bekerja. Beliau tak akan tidur sampai sata pulang ke rumah. "Where are you my little girl?" itu kalimat yang selalu dikirim melalui sms ke handphone saya setiap saya lembur di kantor. Dan selalu saya balas dengan telephone dari kantor untuk memberi kabar beliau kalau saya masih ada di kantor.

2 Minggu Menjelang Pernikahan
Tidak ada feeling apapun papa akan pergi meninggalkan "little girl"nya ini begitu cepat.  2 minggu menjelang pernikahan saya, papa mengubah nuansa kamar saya dengan cat berwarna hijau. Iya, papa sendiri yang cat kamar saya karena tidak mau dipanggilkan tukang cat untuk membantu beliau. Dan setelah selesai ada topi koboi milik beliau tersemat di dinding kamar saya. Saya tanya, kenapa ada topi di dinding, dan papa menjawab "Agar ade tau, ada papa yang selalu sayang ade". Lagi-lagi saya tidak peka dengan kata-katanya yang sepertinya terus memberi saya isyarat kalau ia tidak akan lama menemani saya dan keluarga. Bodohnya saya...

Hari Terburuk Dalam Hidup Saya
"Pa, ade pamit berangkat kerja ya" Saya pamit berangkat ke kantor sambil cium tangan. Saya tidak tahu kalau saat itu adalah saat terakhir saya mencium tangannya dan papa melihat sambil tersenyum lembut. "hmm, hati-hati" jawab beliau. Beliau memang tipe seorang bapak yang tegas dan cenderung galak menurut saya, tapi beliau adalah role model saya saat mencari calon suami. Tak ada feeling apapun saat saya seharian bekerja, semuanya terasa normal dan indah. Lalu kabar buruk datang sore itu yang benar-benar mengubah hidup saya. Saya sudah berusaha menguatkan hati untuk mengantar papa ketempat terakhir peristirahatannya, namun gagal karena baru jasad beliau dibopong ke keranda untuk dibawa ke TPU, saya sudah pingsan dan dibopong pulang ke rumah lagi oleh calon suami saya. Maaf pa, ade ngga kuat, hanya itu kata saya dalam hati dan berharap kata-kata itu sampai ke telinga beliau.

Yang biasanya saya merasa dunia ini aman, damai, tentram dan indah. Kemudian dalam hitungan detik semua terasa berbeda. Saya merasa insecure semenjak beliau berpulang. Yang dulu terasa aman karena seperti ada shield dari papa, saat ini seperti tak ada perisai yang melindungi saya. 

Hari Pernikahan
Jika biasanya hari pernikahan adalah hari bahagia, waktu itu hari pernikahan saya tak ubahnya hanya seperti ritual sakral yang harus tetap saya lakukan, hampa, namun amanat beliau pada saya bahwa calon suami saya adalah yang terbaik pilihan saya dan dengan restu papa akhirnya proses akad nikah tetap terlaksana. Ada keinginan yang menggebu di dada untuk membatalkan pernikahan karena saya ingin focus ke karir saja, saya pikir untuk apa saya menikah kalau orang yang merestui saya sudah tidak ada, tapi urung saya lakukan karena rasa terdalam saya dengan calon suami. Saya bersyukur saat itu mengurungkan niat membatalkan pernikahan, karena saya bahagia memiliki suami, anak-anak yang mencintai dan menyayangi saya hingga saat ini.

Pernikahan tetap terlaksana, kakak laki-laki saya menggantikan papa untuk proses ijab kabul, jangan tanya bagaimana perasaan saya saat itu, karena saya hanya mendengar tangis tertahan mama yang mungkin masih shock kehilangan belahan jiwanya. Layaknya menggenggang pecahan gelas , mungkin itu gambaran rasa sakit saya kehilangan papa di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia.

Bodoh, Bodoh, Bodoh...
Setelah seminggu kepergian papa, akhirnya mama baru mau cerita kalau sebenarnya papa punya penyakit jantung koroner, dan papa melarang mama untuk bercerita pada kami anaknya tentang kesehatan beliau.

Bodohnya saya, karena sibuk bekerja tiap hari hingga larut malam dan tidak tau kondisi kesehatan papa,

Bodohnya saya, setiap pulang kerja hanya menghadiahkan beliau coklat praline kesukaan beliau, yang selalu riang menerima pemberian dari saya tanpa mengatakan kalau coklat dilarang oleh dokter.

Bodohnya saya, membawakan oleh-oleh kepiting kesukaannya saat saya sering dinas keluar pulau dari kantor dan ternyata makanan tersebut juga salah satu warning dari dokter.

Bodohnya saya, percaya saat papa mengatakan hasil MCU tahunan semuanya normal tanpa saya lihat langsung hasil MCUnya.

Bodohnya saya, yang mungkin papa hanya menahan sendiri sakitnya saat heart attack datang.

Bodohnya saya, bodohnya saya, bodohnya saya...

Kalau Saja
Kalau saja saya lebih peka dengan kondisi papa saat itu dan tidak egois terlalu sibuk bekerja.

Kalau saja saya lebih peka dengan kondisi kesehatan papa, kita akan sering trip ke tempat papa dan mama suka.

Kalau saja saya lebih peka dengan kondisi kesehatan beliau, pasti beliau masih tersenyum melihat taman rumah yang saya siapkan untuk beliau berkebun.

Kalau saja saya lebih peka dengan kondisi kesehatan beliau, saya pasti membawakan makanan dan minuman sehat kesukaan beliau. 

Kalau saja saya lebih peka dengan kondisi kesehatan beliau, saya ngga akan pulang terlalu malam dan membuatnya kurang tidur.

Kalau saja saya lebih peka dengan kondisi kesehatan beliau. Akan saya berikan sebuah apel untuk papa setiap hari agar jantung papa sehat.


Maafkan ade pa, i miss you so much and always love you... ❤️

Beloved,
Your little girl 


2 komentar

  1. Mam Ayu...sudah jalanNya insyaAlloh terbaik buat papah yah..

    BalasHapus
  2. Terharu bacanya mba. Tau bangetttt rasanya pas orangtua yg kita sayangi meninggal :(. Krn aku pernah mengalami juga. Tapi memang maut jodoh rezeki itu semua rahasia Tuhan. Semenyesal apapun kita, dengan semua andaikan andaikan itu, ttp aja Allah yang berhak menentukan :(. Aku jg sempet menyesal kenapa ga terlalu lebih perhatian Ama papa, ngbahagian beliau, ngajakin beliau jalan Ama cucunya.. Tapi kadang penyesalan selalu DTG terlambat kan :(. Alfatihah utk papanya ya mba.. semoga diampuni semua kesalahan, diterangi kuburnya, dan ditempatkan yg terbaik oleh Allah SWT.

    BalasHapus

Selamat datang! Terima kasih telah berkunjung.

Silakan tulis komentar :)

Cara mengisi komentar::
Pilih NAME/URL lalu isi dengan URL blog. URL Blog, bukan URL postingan. JIka tidak punya blog, kosongkan saja kolom URL, namun jangan lupa isi namanya supaya tidak masuk SPAM. Terima kasih :)

Maiko